Ambakarna/Kumbakarna adalah salah
satu ksatria yang menjadi teladan sebagai pahlawan yang rela mati membela
Negara dan tumpah darahnya. Kumbakarna adalah putra Resi Sarpa di pertapaan
Selakrenda dengan istrinya Dewi Sukesi putri Prabu Sumali. Ia mempunyai istri
bidadari yang bernama Dewi Aswani dan berputra dua raksasa bernama Kumba-kumba
dan Aswanikumba. Kumbakarna memiliki arti bertelinga besar, hal ini
mencerminkan perilaku Resi Sarpa dan Sukesi ketika akan mengandung Ambakarna
didahului dengan perkelahian dan saat saresmi
Resi Sarpa sambil njewer telinga
Sukesi, sehingga ketika melahirkan anaknya bertelinga besar. Kumbakarna
mempunyai tempat tinggal di Kasatrian Lemburgangsa. Ia berwatak jujur,
pemberani, dan bersifat satria yang memiliki kesaktian.
Kumbakarna
adalah raksasa berukuran besar dan dengan mata plelengan, hidung pelokan,
mulut ngablak dengan kumis, jenggot,
dan cambang yang sangat lebat. Ia memakai mahkota makutha dengan hiasan turidha, jamang susun tiga, jungkat penatas,
karawista , dawala, nyamat, bersumping
mangkara dan kancingnya gelapan utah-utah
pendek. Rambut gimbal ngore memakai praba sebagai simbol kebesarannya. Badan raksasa dengan ulur-ulur
naga mamangsa dan talipraba dengan motif geometric. Posisi
kaki jangkahan denawa raton dan
dengan dua pasang uncal kencana, sepasang uncal wastra, clana cindhe puspita dan dodot bermotif parang rusak. Atribut lainnya kelatbahu raksasa raja gelang denawa raton. Tangan kiri mengepal
dibuat irisan, sehingga tidak dapat
digerakkan (seperti lazimnya raksasa yang berukuran besar), tangan kanan bebas
digerakkan, dan memakai keroncong.
Tokoh ini ditampilkan dengan muka jambon
(merah muda) dengan tubuh gembleng
atau muka dan badan gembleng. Wanda: jaka, barong, dan wewe.
Kumbakarna
pernah turut serta menjadi senapati perang dalam menyerang Suralaya karena
sesuatu sebab, sehingga para dewa merasa takut kemudian mengadakan perdamaian
dengan mengabulkan semua permintaan serta setiap putra dari Resi Sarpa diberi
hadiah bidadari. Kumbakarna mendapat Dewi Aswani.
Ketika
perang besar terjadi di Alengka yang menewaskan seluruh senapatinya termasuk
kedua putra Kumbakarna telah gugur di medan laga. Dasamuka bermaksud memanggil
Kumbakarna untuk diangkat menjadi
senapati. Saat itu Kumbakarna sedang bertapa tidur yang sukar untuk
dibangunkan, atas saran Togog Kumbakarna dapat dibangunkan dengan mencabut bulu
cumbunya. Kumbakarnapun terbangun
danmenghadap Dasamuka, ia diperlakukan sangat istimewa diberi makanan sebanyakk
seratus tumpeng beserta lauk pauknya. Ketika selesai makan Kumbakarna diminta memimpin
prajurit untuk membela Dasamuka, seketika itu Kumbakarna menjadi marah dan
memuntahkan semua makanan yang telah dimakannya. Ia bersedia menjadi senapati
tetapi tidak membela Dasamuka namu membela tanah tumpah darah dan tanah
kelahirannya Alengka yang selama ini member hidup dan membesarkannya akan
dirusak oleh musuh.
Akhir
hayat Kumbakarna diceritakan dalam perang besar itu, Kumbakarna berhadapan
dengan Lesmana dan Ramawijaya. Atas nasihat Wibisana tubuh Kumbakarna harus
dipotong-potong dengan panah, sehingga kesaktiannya akan hilang dan akhirnya
gugur. Rama Wijaya mengakhiri hidup Kumbakarna dengan pusaka saktinya
Gumawijaya. Ada yang menceritakan Kumbakarna gugur dengan tubuh yang
terpotong-potong itu karena kutukan Arya Jambumangli.
Sifat
kesatria Kumbakarna ini di tanah Jawa menjadi suri teladan bagi satria Jawa,
agar dapat mencontoh Kumbakarna ini. Ia rela mati untuk membela negara dan
tanah tumpah darah, tidak didasari oleh kemauan atas keinginan dunia, dan tidak
membantu kepada orang yang berperang membela keinginan sendiri yang tidak
benar.
Comments
Post a Comment